Rabu, 24 September 2014

Budaya Sumbawa Besar

Di dalam tambo Samawa dan sebagaimana juga terdapat dalam berpuluh-puluh hikayat yang dikenal Sumbawa menceritakan kepada kita bahwa suku Sumbawa atau “Tau Samawa” awal terbentuknya, nenek moyang mereka adalah terdiri dari berbagai jenis suku yang berdatangan dari berbagai bagian Nusantara kita ini. Mereka mengadakan hubungan perkawinan dengan penduduk  yang lebih dahulu mendiami daerah ini. Walaupun mereka tidak bersama waktu datangnya, tetapi karena telah berabad-abad lamanya hidup dalam lingkungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka dari keturunan mereka inilah akhirnya merupakan satu rumpun yang menamakan dirinya “Tau Samawa”. Dari pengaruh percampurannya yang banyak dan luas ini, maka dapat kita lihat, bahwa watak orang Sumbawa adalah kompromis dan penuh dengan rasa toleran. Pribadi mereka diabadikan dalam suatu “lawas”:
Tutu’ si lenas mu gita.
Mara ai dalam dulang.
Rosa dadi umak rea.
Terjemahannya:
Lahirnya tak beriak.
Seperti air di dulang.
Namun sesekali bisa menjulang
seperti ombak mendebur pantai.
Tetapi di dalam kelompoknya yang berpisah-pisah seperti misalnya kampong atau desa, mereka mempunyai sifat pembawaan masing-masing, kira-kira dapat diartikan sebagai kumpulan julukan yang diistilahkan dengan “balontar” (berpilin-pilin), masing-masing negeri memiliki julukan, antara lain misalnya : “Samawa tanja’ Makasar”, Utan basanja’bae”, “Rangking Pakajang Rate”, “Aru-aru Tatabel”, “Pasiki Lenangguar”, “Gambo Pamangong”, “Merang Taliwang” dn lain-lain.
Dengan mengikuti perkembangan sejarahnya, benar-benar nyata kebhinekaannya dengan masing-masing membawa kebudayaannya. Tetapi walau demikian, nyata pula ketungal-ikaannya, karena semua yang mereka bawa itu terelebur menjadi satu yaitu “KEBUDAYAAN SAMAWA”.
Selanjutnya bila kita menperhatikan adat- istiadat yang hidup di kalangan orang-orang Sumbawa dapatlah kita lihat merupakan percampuran adat-istiadat (cultur) Jawa dan Makasar/Bugis. Kita mengenal pengaruh peradaban Jawa menurut sisa-sisa kini yang masih kita dapati, antara lain yaitu:
1)      Bidang bahasa, banyak kita temukan istilah-istilah terutama nama pejabat-pejabat Kerajaan, seperti Dewa Maraja. Ranga, Dipati (Adipati), Mentari Telu, Mamanca Lima, Lelurah Pitu dan perwira-perwiranya disebut Sarian, Penggawa, Bayangkara dan lain-lain.
2)      Bidang adat-istiadat seperti “Biso tiyan” yaitu selamatan tujuh bulan kehamilan pertama istri.
Di samping itu kita kenal pula dengan pegaruh lainnya, yaitu dari suku Bugis/Makasar. Dengan perhubungna perkawinan perpindahan anak-anak raja dari Goa dan Bugis turut mewarnai adat-istiadat Sumbawa terutama dikalangan raja dan kaum bangsawan. Sehingga anak raj sebelum kawin berhgelar “DaEng” dan setelah kawin bergelar “Datu”. Dalam berpakaian, baik dalam pakaian sehari-hari  terlebih lagi pakaian raja, para menteri dan para “lanta” adalah dalam Bugis/Makasar. Hiasan-hiasan bagi wanita maupun pria adalah serupa dengan Bugis/Makasar yang lebih kerap dapat terlihat pada pakaian pengantin.
Karena pengaruh beraneka adat-istiadat itu menyebabkan adat-istiadat asli suku Sumbawa sudah hampir tidak dikenal lagi ciri khasnya dan timbullah sintesa dari ketiga adat-istiadat itu yang kini merupakan adat-istiadat suku Sumbawa. Dari perpaaduan kebudayaan diatas, kemudian bercampur lagi dengan keturunan-keturunan yang datang dari Palembang, Minangkabau, Banjar dan lain-lain telah menjadikan suku Sumbawa berpancaran darah seni dalam jiwanya. Kalau kita berada di tengah-tengah majelis orang-orang tua, misalnya dalam upacara peminangan dan lain sebagainya, maka kita akan mendengar dalam ucapan-ucapan sebagai pengantar kata, selalu dalam rangkaian kata-kata yang bersifat puitis. Demikian juga misalnya ada barang yang dikehendaki pada seseorang tidak langsung terlontar kata meminta. Tetapi diselubung dengan kata-kata: “Ajan sempama katingka, batemung untung ke rela, lebe jina ku rasate ade siya kango, na kena ya rowa si bosan, ba kareng aku mo baeng jampang”.


sumber: klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar